Sabtu, 31 Juli 2010

God works in mysterious ways

Hari Kamis, tanggal 22 Juli, aku bangun dengan perasaan perih di lambung. Rasanya seperti maag kambuh akibat lama tidak makan tetapi jauh lebih parah. Aku teringat bahwa malam sebelumnya aku juga merasakan hal yang sama. Terdengar dari luar kamarku, papa sibuk melakukan segala sesuatu sebelum ia berangkat. Aku pun keluar dan setelah menimbang beberapa lama, aku mengatakan bahwa maagku sepertinya kambuh. Karena saat itu kira-kira sudah jam 9, papa tidak meladeni keluhanku, apalagi hanya maag. Ia pun pergi dan meninggalkanku merenungkan gejala yang kualami ini. Pikiranku jauh melayang sampai ke ulkus peptikum, perasaan perih disertai nyeri yang semakin parah bila aku berjalan, bahkan tidur terlentang. Aku pun mengirim pesan singkat kepada papa dan sore harinya (dengan penuh penderitaan menjalani siang hari), aku ke dokter. Dan juga dengan penuh penderitaan menunggu kurang lebih 2 jam dengan harapan bertemu dengan seorang KGEH, aku hanya bertemu SpPD biasa. Tidak disangka saat itu aku demam tinggi dan aku pun diberi obat dan diet ketat untuk maagku. Diagnosis saat itu tifus dan aku dianjurkan periksa laboratorium bila dalam 3 hari demam tidak turun. Keesokan harinya, gejala tidak membaik. Mama pulang dari luar negeri dan sangat mengkhawatirkanku. Ia pun mencari dokter langgananku yang hari itu praktek di salah satu RS sangattttt jauh dan butuh 2 jam di jalan untuk sampai ke sana. Setelah bersusah payah menunggu (lagi!), sampai di sana aku pun demam. Dokter memberikan aku sederet pemeriksaan laboratorium yang harus kujalani. Diagnosis saat itu demam berdarah. Mama lalu bertanya tentang kemungkinan aku dapat pergi ke Perancis tanggal 26 Juli. Dengan tegasnya ia berkata tidak dan memberikan contoh seorang anak profesor FKUI yang meninggal 2 hari sebelum ujian spesialisnya akibat syok demam berdarah. Hmm... siapa yang tidak takut mendengar cerita itu? Setelah memeriksa laboratorium, besoknya kami bertemu dokter itu lagi di rumah sakit yang lain yang harus menunggu kurang lebih 4 jam. Dari hasil lab, terlihat bahwa aku terinfeksi bakteri sejenis tifus namun lebih ringan. Fungsi hatiku meningkat banyak dan dugaan dengue semakin mengarah padahal tes sebelumnya negatif. Tiba-tiba sang dokter menyarankan untuk dirawat. Aku langsung menjawab tidak. Tapi dalam pikiranku, aku menimbang segala hal positif dan negatif bila aku dirawat dan tentu saja lebih banyak ke hal positif. Dengan mengorbankan kepergianku tanggal 26, aku pun diopname pada tanggal 25 Juli. Dari segala pemeriksaan yang dilakukan, akhirnya terlihat bahwa aku menderita dengue, lebih tepatnya demam dengue. Fungsi hati masih tinggi namun tidak ada hepatitis (syukurlah). Gejala diare dan mual datang dan pergi seenaknya.

Beberapa kali aku bertanya-tanya dalam hati, "Apa sebenarnya tujuan Tuhan memberikan aku penyakit ini? Apakah untuk menghukum aku yang selama ini menyangsikan keberadaanNya? Atau malah menyelamatkanku karena tahu aku pasti akan terbantai habis bila tetap pergi?" Seiring berjalannya waktu, aku pun mendapatkan jawabannya. Aku sama sekali tidak terbayang bila dalam penerbangan lebih dari 10 jam itu, aku dapat kuat bertahan, terutama bila gejala demam berdarahku semakin memburuk. Saat itu aku berpikir, "Yahh, mungkin ini memang yang terbaik untukku. Tuhan masih sayang kepadaku dan menyelamatkanku." Dan tentu saja semua orang tahu bila berhadapan dengan demam berdarah, urusannya adalah nyawa. Jadi walaupun begitu banyak kerugian yang kusebabkan, tapi yang penting aku masih hidup, bertahan melawan penyakit yang sudah 3x menginfeksiku dan pernah membunuh sahabat karibku.

Saat ini, setelah lebih dari 1 minggu berlalu dan sudah keluar dari perawatan RS, keadaanku sudah jauh lebih baik tetapi masih belum fit 100%. Masalah sepertinya terus saja datang dan membuatku terus memikirkan penyakit terburuk yang dapat menjelaskan semua keadaan yang aku alami. Saat ini kedudukannya sama, dalam 2 hari lagi aku akan berangkat ke Perancis, menyusul ide liburan dari mama. Dan aku pun ke dokter lagi karena kontrol dan memburuknya suatu masalah lama. Akhirnya penyebabnya dapat diketahui dan aku pun menyesali kecerobohanku. "Apakah ini suatu tanda bahwa aku sebaiknya tidak pergi?" begitulah pikirku lagi. Tapi ternyata dokter yang lain ini mengizinkan aku walaupun sebenarnya dia menganjurkan untuk opname lagi untuk observasi. Dengan berbagai macam syarat yang sepertinya mustahil dilakukan di Perancis saat liburan, hatiku rasanya tidak menentu. Ingin senang atau khawatir. Satu kesalahan kecil saja nanti bisa menghancurkan hidupku. Mungkin memang terlalu berlebihan, tapi setidaknya aku tidak dapat menjalani kehidupan selayaknya orang-orang seusiaku. Tapi yang penting, aku masih hidup. Karena seandainya saja aku tetap berangkat tanggal 26 Juli, selain nyawaku bisa tercabut akibat virus Dengue yang mematikan, - kalaupun aku masih hidup - aku bisa-bisa terjangkit hepatitis atau mungkin lebih parah lagi. Wah, ternyata Tuhan memang bekerja dengan caraNya sendiri. Semoga saja jalan yang saat ini aku tempuh benar dan Ia selalu menyertaiku. Dan semoga saja kejadian ini membuatku dekat denganNya lagi. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar