Rabu, 05 Oktober 2011

Terpuruk

Terpuruk...

Aku tersungkur...
Bukan karena tamparanmu
Bukan karena tendanganmu

Aku tersiksa...
Bukan karena cacianmu
Ataupun makianmu

Aku sengsara...
Bukan karena amarahmu
Bukan karena dengkimu

Aku menangis...
Bukan karena air matamu
Ataupun sedu sedanmu

Aku berteriak... berteriak sekeras-kerasnya
Memuntahkan pahit ini padamu

Tapi kau...
Tak ada di sana...

Rabu, 13 April 2011

My Heart is Yours

I didn't say anything to you when you entered the room
I even didn't look at you
It's not because I didn't care about you
It's because I was too nervous, just to stare at you

I acted as if we weren't close at all
But trust me, I wish we could talk freely
Holding hands together, embracing each other

And you stayed there
And I sat here
Trying so hard to have a glimpse of you
So I could remember you all the time

Then you went...
I was just standing still
Hoping you would be back

Maybe I don't play it right
Because there's no rule of love
Please have faith in me
Cause my heart is yours

Sabtu, 12 Februari 2011

A Single Man, Cinta Sehidup Semati

Akhirnya berhasil mengumpulkan niat untuk menonton film ini dan sama sekali tidak kecewa. Kejanggalan akan adegan percintaan antar lelaki yang digambarkan secara vulgar tentunya akan mengganggu sebagian orang yang tidak tahan melihatnya. Namun, secara keseluruhan kita diyakinkan akan cinta tulus antara kedua tokoh utama, George (Colin Firth) dan Jim (Matthew Goode).

Cerita dimulai dengan George yang mengenakan setelan jas berjalan di atas salju. Ia menghampiri sebuah mobil yang mengalami kecelakaan dengan sesosok mayat yang sudah terbujur kaku. George lalu berbaring di dekat mayat itu dan mencium bibirnya. Ternyata mayat itu adalah Jim. Kehidupan George setelah kematian Jim lalu dituturkan. Ia menjalani hidupnya seperti biasa, namun dengan tekad kuat untuk menyusul Jim. Ia mempersiapkan segalanya dengan matang, dari surat wasiat sampai peluru untuk pistolnya. Dalam proses menyiapkan bunuh dirinya itu, George berhadapan dengan berbagai godaan. George bekerja sebagai dosen sastra Inggris dan salah seorang muridnya tertarik kepadanya. Mahasiswa ini, Kenny Potter, gencar mendekatinya di kampus. George juga mempunyai seorang sahabat wanita, Charlotte yang ia panggil Charley (Julianne Moore). Mereka mempunyai pengalaman cinta bersama tetapi hanya sebatas hubungan seks. Selain Jim, Charley adalah orang terdekat George. Wanita inilah sahabat tempat George berpaling saat ia tahu Jim meninggal. Malam itu, mereka merencanakan makan malam bersama. Charley meminta George membeli minuman dan saat membelinya, ia bertemu dengan Carlos, pria Spanyol yang tertarik kepadanya. Mereka berbincang sambil merokok. Carlos bahkan mengira hubungan mereka akan berlanjut tetapi George menolak. Saat bersama Charley, George akhirnya mengetahui perasaan Charley sebenarnya. George meyakinkan Charley bahwa hubungannya dengan Jim adalah cinta yang sesungguhnya dan bila bukan karena kematian Jim, mereka masih bersama. Berbagai karakter ini masih belum dapat memupuskan tekad George untuk mengakhiri hidupnya. George yang obsesif kompulsif lalu mengunjungi tempat ia pertama kali bertemu dengan Jim. Tanpa disangka, ia bertemu dengan Kenny. Mereka lalu mengobrol dan akhirnya berenang bersama. George mulai terlihat ceria dan akhirnya membakar surat-surat yang telah disiapkan. Setelah merasa hidupnya bisa membaik dan dapat menemukan pengganti Jim, kematian merenggut George akibat serangan jantung yang dialami. Film ini lalu ditutup dengan Jim yang mengenakan jas menghampiri George dan mencium bibirnya.

Alur film ini maju-mundur. Kilasan adegan pada masa lalu dan masa kini berselingan muncul tetapi mampu membuat penonton memahaminya. Kita tidak dibuat berpikir keras untuk mengikuti alur ceritanya. Bila teliti, kita akan melihat tone yang digunakan oleh sutradara Tom Ford. Pada masa kini, George sudah ditinggal oleh Jim yang meninggal karena kecelakaan. Tone kelabu akan mendominasi pergerakan dan kegiatan George yang memang sangat terpukul akibat kematian Jim. Mereka sudah bersama selama 16 tahun. Tone yang lebih cerah digunakan untuk menggambarkan kehidupan George bersama Jim yang penuh warna. Tetapi ada beberapa adegan yang menggunakan efek grayscale dan memperindah suasana. Kontradiksi antara perasaan George yang kelabu dan Carlos atau Kenny yang berwarna dipertemukan dalam satu adegan. Saat suasana hati George mulai membaik, warna-warna pun kembali dalam adegan. Penuturan cerita terkesan lambat namun sesuai karena suasana mellow yang ingin dibangun oleh sutradara. Durasi film ini tidak panjang sehingga tidak terasa membosankan. Akting Colin Firth sangat baik dan memang saat itu diunggulkan untuk meraih Oscar namun kalah oleh akting Jeff Bridges. Setting tahun 1980-an dengan gaya rambut dan pakaiannya sangat menonjol.

Seperti film lain, film ini bercerita tentang cinta. Yang masih belum sering diangkat mungkin adalah cinta antara sesama pria. Sepanjang film kita begitu diyakinkan akan cinta mereka yang begitu murni dan indah sehingga tidak peduli lagi akan gender yang mereka punya. Ada yang menyebut bunuh diri itu dosa dan tidak sesuai dengan agama, tetapi entah bagaimana menurut saya itu adalah tindakan yang benar demi menyatukan 2 orang yang memang sejoli itu. Masalah sosial yang dihadapi pasangan sesama jenis tidak digambarkan secara dalam namun esensial. George dilarang untuk mendatangi upacara pemakaman Jim dan bahkan ibu Jim tidak mau memberitahukan kematian anaknya pada George. Lain halnya dengan tetangga George yang menerima mereka apa adanya. Walaupun topik serius diangkat dalam film ini, inti ceritanya tetaplah cinta dan true love lasts forever.

Minggu, 06 Februari 2011

Biutiful: Gambaran kehidupan multikultural di Spanyol

Film ini disutradarai Alejandro González Iñárritu, sang pembuat Babel. Seperti Babel yang mempunyai 4 cerita dengan latar budaya yang berbeda, Biutiful juga menggambarkan kehidupan multikultural, khususnya di Spanyol. Interaksi antara bangsa Spanyol, Afrika, dan Asia dari kelas bawah dengan karakteristiknya masing-masing diceritakan secara detail ditambah suatu pesan pribadi kepada ayah sang sutradara.

Sebenarnya inti ceritanya adalah tentang fatherhood. Uxbal (Javier Bardem) adalah seorang pria Spanyol paruh baya yang mempunyai 2 anak. Ia sudah bercerai dengan istrinya, Marambra (Maricel Álvarez), seorang tukang pijat yang mempunyai kepribadian ganda. Uxbal memenangkan hak asuh anak karena istrinya dianggap tidak kompeten. Uxbal sangat menyayangi kedua anaknya, ia senantiasa mendidik dan melindungi mereka. Demi membiayai hidup keluarganya, ia bekerja membanting tulang. Pekerjaannya bervariasi, yang utama adalah partner dagang dengan orang Cina, Hai, yang mempekerjakan sekelompok imigran gelap asal Cina. Awalnya bisnis mereka adalah pembajakan barang bermerk dan dvd film. Sekelompok orang Afrika yang dipimpin oleh Ekweme menjual barang dagangan tersebut secara ilegal di jalan-jalan. Uxbal mempunyai teman di kepolisian dan ia pun menyuap temannya agar para negro yang berjualan tidak ditangkap. Ternyata penggrebekan tetap terjadi, bisnis pun gagal, dan Ekweme dipenjara, meninggalkan istri dengan bayinya. Kesulitan dan kerasnya hidup para imigran gelap dan kaum menengah ke bawah diperlihatkan secara lugas. Para buruh Cina tidur dalam 1 ruangan besar yang pintunya dikunci dari luar. Mereka bagaikan tawanan tetapi tetap bekerja demi gaji yang jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan bila bekerja di negaranya sendiri. Hai, atasan mereka, dengan Liwei (partner homoseksualnya) dan Uxbal bersusah payah melindungi keberadaan mereka yang merupakan sumber penghasilan utama. Digambarkan dalam film ini bahwa Uxbal adalah seorang yang berhati lembut, ia sangat memedulikan kesejahteraan para pekerja Cina, keluarga Ekweme, dan keluarganya sendiri. Pekerjaan sampingannya sangat aneh. Ia dapat berkomunikasi dengan orang yang baru meninggal. Bila seseorang yang meninggal belum sempat menyampaikan pesan terakhir kepada keluarganya, Uxbal dapat mendengar pesan mereka dan menceritakannya pada pihak keluarga. Seperti layaknya seorang ayah, Uxbal juga mengantar-jemput anak-anaknya ke sekolah, memasak, memberi makan, atau bahkan mengomeli mereka. Masa lalu Uxbal dengan orang tuanya sangat kelam karena ia tidak dapat mengingat ayahnya lagi. Dalam hatinya ia bertekad supaya kejadian tersebut tidak terulang pada dirinya dan anak-anaknya sehingga ia pun berusaha mati-matian menjadi ayah teladan. Sayangnya, ia tidak dapat mendampingi kedua anaknya menempuh hidup yang keras karena kanker prostat yang ia derita. Disebutkan oleh dokter bahwa hidupnya hanya akan bertahan selama 2 bulan walaupun ia dikemoterapi. Dengan sisa waktu ini ia pun mati-matian mengumpulkan uang demi kehidupan anak-anaknya. Ia juga berusaha untuk kembali dengan istrinya namun sayangnya Marambra masih belum stabil dan memukuli anaknya. Ige, istri Ekweme yang tidak mempunyai mata pencaharian dan tempat tinggal, diizinkan untuk tinggal di rumahnya, dan akhirnya membantu Uxbal dalam menghadapi saat-saat terakhirnya.

Jujur saja, film ini berat dan terasa panjang, durasinya memang 147 menit. Film dibuka dengan prolog (yang ternyata juga epilog) antara seorang ayah dengan anaknya membicarakan cincin yang dipakai si bapak. Adegan lalu berpindah ke hutan di daerah bersalju, seekor burung hantu yang mati tergeletak di tanah bersalju, dan Uxbal yang sedang duduk. Seorang pria muda menghampiri dan mengajaknya merokok. Sepanjang film, kita dipaparkan tentang kerasnya kehidupan kaum urban dan perjuangan mereka sebagai seorang ayah demi keluarga masing-masing. Sikap individualis tersampaikan melalui karakter si polisi yang mengambil uang suap untuk menafkahi putrinya, bukan untuk keselamatan kaum negro. Ada juga yang justru meninggalkan keluarganya demi keselamatan dirinya sendiri karena tekanan yang begitu besar. Hukum rimba pun berlaku di dunia modern ini. Siapa yang kuat dialah yang menang, dialah yang hidup. Kelembutan dan kesungguhan hati seorang Uxbal bagaikan harapan di tengah dunia yang penuh intrik dan individualis ini. Penonton pun dibuat kuatir akan nasib anak-anaknya bila Uxbal meninggal. Untungnya, secercah harapan dari Uxbal pun dibalas dengan kebaikan yang tulus dari Ige sehingga kita pun dapat bernapas lega.

Dari segi sinematografi, film ini membawa suasana yang kelam dan gelap. Pemandangan indah negara Spanyol, entah di kota mana sama sekali tidak tergambarkan. Pengambilan gambar dari jarak dekat (close-up) bebas mengeksplorasi ekspresi para pemainnya yang sebagian besar dalam suasana sedih dan keras. Sesekali adegan diambil dari jarak jauh tetapi tone yang memang didominasi dengan warna kelabu tetap membawa suasana muram dalam film ini. Alur cerita berjalan lambat dengan klimaks terjadi di bagian paling akhir film yang dipaparkan dengan datar namun menyentuh. Alunan musik khas Spanyol dengan petikan gitarnya yang terkenal sangat cocok menyandingi tiap adegan, semakin menambah suasana gelap yang diusung. Beberapa kali suara dihilangkan untuk menambahkan pengaruh musik dalam adegan dan berhasil mempertajam pesan dari sutradara. Yang tidak boleh ketinggalan tentunya akting memikat dari Javier Bardem. Walaupun sempat ragu akan penampilan fisik yang kurang sesuai bagi penderita kanker, ternyata dalam film ini diperlihatkan progresivitas penyakit yang perlahan-lahan merenggut raga Uxbal, namun bukan semangatnya. Aktingnya dalam film ini patut dipertimbangkan untuk kembali mendapatkan piala Oscar.

Secara keseluruhan film ini mengangkat begitu banyak tema. Dari tema perjuangan seorang ayah bagi keluarganya, cerita lalu merambat ke kehidupan kaum urban yang sangat pelik dan dibahas dengan mendalam sampai bidang politik, homoseksual yang hanya dibahas secara superfisial, sampai kemampuan supranatural kaum Spanyol yang dapat memprediksi kematian. Begitu banyaknya tema yang diangkat sehingga film ini membuat penontonnya harus berpikir keras sepanjang dan sesudah film berakhir tentang beberapa simbol dan deskripsi yang dipaparkan.

Lalu, mengapa judulnya Biutiful? Dalam suatu adegan, Ana, anak perempuan Uxbal menanyakan ejaan dari 'beautiful' yang dijawab oleh Uxbal dengan 'biutiful'. Saat itu, Ana sedang menggambar keempat anggota keluarganya berlibur di pegunungan Pyrenees. Mungkin itulah jawabannya, karena cinta di antara anggota keluarga itu begitu indah, dalam film ini terutama cinta seorang ayah kepada anak-anaknya.

Rabu, 19 Januari 2011

The Kids are All Right, potret kehidupan keluarga masa kini

The Kids are All Right menceritakan sebuah keluarga dari pasangan lesbian dengan kedua anaknya. Pasangan ini bernama Nicole (Annette Benning) dan Jules (Julianne Moore) dengan Joni (Mia Wasikowska) dan Laser (Josh Hutcherson). Anak-anak ini berasal dari donor sperma yang sama, Paul (Mark Ruffallo), seorang pemilik restoran. Joni adalah hasil kehamilan Nicole yang seorang dokter. Saat ini ia berumur 18 tahun dan akan pindah untuk bersekolah di college. Ia adalah "the brains in the family". Laser adalah hasil kehamilan Jules dan saat ini berumur 15 tahun. Ia adalah seorang atlit dan bermain di seluruh cabang olahraga.

Keluarga ini digambarkan sangat harmonis. Nic yang seorang dokter adalah kepala keluarganya. Ia sang pencari nafkah, selalu pasti dengan pendiriannya, dan seorang yang perfeksionis. Sifat perfeksionisnya itu membuatnya terlalu sering mengatur sehingga kadang-kadang anak-anaknya membangkang, terutama Joni yang sudah dewasa, 18 tahun. Jules adalah pribadi yang kebalikannya. Ia tidak tahu apa yang mau ia lakukan dalam hidupnya. Ia pernah belajar arsitek dan keluar sebelum lulus. Ia lalu menjalankan beberapa bisnis. Usahanya yang terbaru adalah landscape design. Di bayang-bayang keberhasilan Nic, Jules selalu ragu dan merasa tidak dihargai karena ketidakberhasilannya. Ia pun memegang peranan ibu yang mengurus anak-anaknya. Joni adalah perempuan yang beranjak dewasa. Ia mau menonjol sebagai dirinya sendiri, tidak mau didikte oleh orang tuanya. Laser adalah tipe remaja laki-laki tipikal. Senang bermain dengan kawannya, Clay, walau Clay adalah orang yang aneh. Ia juga tidak sensitif. Sedangkan Paul adalah seorang yang juga tidak pasti akan hidupnya, namun akhirnya ia berhasil memiliki sebuah restoran yang sukses. Tipe pria yang tidak berkomit dengan kehidupan cinta yang bebas.

Konflik pada keluarga modern ini dimulai ketika Laser ingin bertemu dengan ayah biologisnya, Paul. Joni dan Laser pun melacaknya dan berhasil bertemu. Sejak saat itu, Paul pun muncul dalam kehidupan mereka dan menggoyahkan kestabilan keluarga tersebut. Cinta pasangan lesbian ini diuji dan kita diperlihatkan bagaimana respons kedua anak mereka terhadap keluarga yang unik ini. Jangan dikira kedua anak ini mengalami fase depresi karena malu mempunyai 2 ibu atau tidak bangga dengan keluarganya. Hal ini sama sekali tidak tampak. Mereka bangga dengan keluarganya, sangat menyayangi kedua ibunya, tidak malu akan kehidupannya, pastinya... the kids are all right! Dari film ini kita dapat melihat bagaimana kehidupan keluarga dari pasangan lesbian yang kurang lebih sama dengan keluarga lainnya. Mereka berusaha menerima pasangan apa adanya, mereka juga punya masalah yang sama, dan mereka saling mencintai walaupun mungkin kita belum terbiasa dengan pasangan sesama jenis. Perbedaannya hanyalah dalam berhubungan seksual tentunya, yang digambarkan dengan sangat kocak dan sifat emosional yang menonjol dari perempuan. Saat Nic and Jules bertengkar atau bersedih, terlalu banyak air mata yang keluar karena keduanya menangis. Suatu adegan yang jarang kita lihat karena biasanya, dalam keluarga yang normal, sosok ibu yang biasa kita lihat menangis.

Film ini mengajarkan tentang keluarga dan kehidupan pernikahan. "Marriage is hard" seperti kata Jules. Film ini lebih fokus kepada masalah internal keluarga, bukanlah masalah eksternal. Dalam film ini digambarkan lingkungan mereka dapat menerima dengan baik sehingga semua orang dapat menikmati ceritanya. Secara keseluruhan film ini menghibur dan dapat memberikan pesan. Beberapa adegan memang digambarkan dengan jenaka tanpa menghilangkan keseriusan pesan yang ingin disampaikan. Bukan hanya keluarga homoseksual yang diangkat, namun juga masalah remaja yang dihadapi oleh para anak, seperti persahabatan, percintaan, dan seksualitas. Apakah anak-anak dari pasangan gay akan mendapat pengaruh buruk dari orang tuanya? Dalam arti lain, apakah anaknya juga akan menjadi gay? Ini juga masalah yang dihadapi oleh Nic-Jules dan untuk tahu jawabannya, sebaiknya menonton film ini :) Pemainnya, terutama pasangan Annete Benning-Julianne Moore patut dipuji. Benning memang sudah terbukti dengan penghargaan golden globe di tangan. Jarang sekali kita melihat Julianne Moore bergaya kasual dan santai dan dapat membawa angin segar untuk karakter Nic yang "uptight".

Kekurangan film ini sepertinya cukup fatal. Dari wikipedia didapatkan bahwa pernikahan secara legal di Amerika Serikat baru disahkan pada tahun 2004 di negara bagian Massachussets. Memang masa lalu Nic-Jules tidak jelas, apakah mereka hamil dulu atau menikah dulu. Yang pastinya adalah mereka menikah seperti pengakuan Jules, bukan "partnership" atau apa pun istilahnya. Bila kita berasumsi bahwa mereka menjalani proses konvensional dengan menikah dulu baru mempunyai anak, hal ini tidak mungkin terjadi karena belum disahkan di AS, tidak mungkin juga di luar negeri karena Belanda, negara pertama yang mengesahkan pernikahan sesama jenis, mengeluarkan undang-undangnya pada tahun 2001, 9 tahun dari film ini dirilis. Mungkin sebaiknya hal ini diperjelas. Memang tidak terlalu penting untuk perkembangan ceritanya tapi rasanya film ini jadi kurang sempurna bila hal ini tidak diperbaiki.

Kekurangan lainnya adalah saat adegan klimaks, Jules meminta maaf pada keluarganya. Menurut saya, akting Julianne Moore kurang 'ngena' walaupun dia sudah banjir air mata. Alhasil, adegan yang seharusnya bikin sedih ini malah tidak mengharukan. Selain akting, mungkin karena bahasa Inggris yang digunakan. Jujur saja, dalam film ini agak sulit memahami percakapannya, mungkin karena pilihan kata-katanya yang tidak biasa digunakan sehingga kadang-kadang bingung akan maksud perkataan karakter.

Adegan yang paling saya sukai dari film ini ada 2, yaitu saat Nic-Jules menceritakan pertemuan mereka dan perpisahan Nic-Jules dengan Joni. Pada adegan yang pertama kita dapat melihat jelas chemistry antara Benning dan Moore yang sangat kuat. Nic yang biasanya "uptight" saat itu terlihat begitu rileks dan Moore juga terlihat cantik sampai Paul pun jelas-jelas terpesona. Adegan yang satunya sangat menyentuh. Saat Nic, Jules, dan Joni berpelukan, walau wajah mereka tidak terlihat jelas, tapi body language mereka sangat menggambarkan isi hati mereka. Joni, walaupun sering membangkang di hari-hari terakhir ia tinggal di rumah, sangat sedih karena harus meninggalkan kedua ibunya. Kedua ibu yang memang digambarkan sangat emosional dari awal film, tentu saja menangis. Kita pun tahu kalau mereka berdua sudah berbaikan.

Film ini bagus dan memang pantas mendapatkan Best Motion Picture untuk kategori Comedy or Musical karena berani menawarkan tema yang sebenarnya sederhana dan tipikal tetapi dikemas dengan mengangkat topik yang kontroversial (pasti tidak mungkin diputar di Indonesia). Dan bila dibandingkan dengan nominasi film lain seperti The Tourist, Red, Alice in Wonderland, atau Burlesque, jelas film ini paling bagus. Akhir cerita pun digambarkan dengan sederhana dan memuaskan.

Minggu, 02 Januari 2011

Black Swan, Saatnya Natalie Portman membawa Oscar


Andrew: "So what are you guys working on now?"
Nina: "Swan Lake. You know it?"
Andrew: "No, not really. Heard of it. What's it about?"
Nina: "It's about a girl who gets turned into a swan, and she needs love to break the spell. But her prince falls for the wrong girl and so she kills herself."
Andrew: "It's not a happy ending then."
Nina: "It's beautiful, actually."

Itulah sepenggal percakapan antara Nina, sang ballerina pemeran Swan Queen, dengan Andrew, seorang pria yang ia temui dalam sebuah bar. Andrew memang bukan pemeran utama dalam film ini, tapi ketidaktahuannya mengenai ballet mewakili para audiens yang tidak mengetahui dunia ballet dan cerita Swan Lake.

Film "Black Swan" mengisahkan tentang suatu sekolah ballet yang ingin mengadakan pertunjukkan Swan Lake. Masalahnya adalah dalam memilih pemeran utama yang disebut Swan Queen. Swan Queen harus dapat memerankan White Swan (sang perempuan yang berubah menjadi angsa), yang cantik, lemah lembut, dan rapuh, serta saudara kembarnya, Black Swan yang dalam percakapan di atas adalah "the wrong girl" yang seduktif sampai pangeran akhirnya jatuh cinta padanya. Kedua karakter yang saling bertolak belakang tersebut menjadi tantangan bagi Nina (Natalie Portman) yang memperoleh peran itu. Nina berumur 29 tahun, tinggal berdua dengan ibunya. Ia disiplin dan penurut, tidak pernah terlambat untuk berangkat dan pulang tepat waktu. Ibunya sering menelponnya untuk menanyakan keberadaannya. Ia juga penyendiri, digambarkan tidak banyak orang yang berinteraksi dengannya. Hidupnya teratur dan terkontrol. Di sinilah kita melihat gambaran White Swan. Thomas Leroy (Vincent Cassell), penari balet senior yang memproduksi pertunjukan Swan Lake mengatakan "If I was only casting the White Swan, she'd be yours" kepada Nina saat mengaudisinya. Begitu lekatnya gambaran White Swan dalam diri Nina namun begitu kecilnya kemungkinan ia bisa menjadi Black Swan sehingga Thomas awalnya tidak memilih Nina sebagai Swan Queen. Namun berkat usaha Nina dalam membujuk Thomas dan Thomas mengetahui adanya sisi Black Swan dalam diri Nina, ia pun memilih Nina. Masalah mulai bergulir semasa latihan. Nina tidak pernah dapat menggambarkan Black Swan seutuhnya. Berbagai cara (yang tentunya berkaitan dengan hubungan seksual) dilakukan Leroy untuk mengeluarkan sisi liar yang seduktif dari Nina, tapi hasilnya nihil. Seorang ballerina lain bernama Lily (Mila Kunis) - yang nantinya menjadi cadangan Nina - adalah seorang yang ramah, easy going, dan bebas. Menurut Leroy, tariannya "Imprecise but effortless." Ia menari dengan lepas dan jujur. Lily lalu menjadi teman Nina. Mengetahui Nina tertekan dalam berlatih, diajaknya Nina ke bar. Mereka mabuk, minum pil, dan berkenalan dengan Tom dan Andrew. Ini semua dilakukan Lily agar Nina dapat santai sejenak, melupakan semua tekanan yang ia alami. Dan sejak saat itu tarian Nina semakin membaik walaupun hidup Nina semakin sengsara.

Nina Slayers adalah tokoh sentral dalam film ini. Digambarkan terdapat 2 kepribadian dalam diri Nina, mungkin bisa disebut White Swan dan alter ego-nya, Black Swan. White Swan adalah Nina yang biasa dilihat dengan pakaian putih, krem, atau pink. Ia berdandan seperti ballerina lainnya, dengan rambut dicepol ketat. Mata Nina sebagai White Swan selalu bersinar sendu dan raut mukanya menggambarkan ketidakpercayadiriannya. Sejak awal film, penonton selalu dipaparkan dengan luka-luka yang sering muncul pada tubuh Nina, entah itu pada punggungnya, jari tangannya, atau kakinya. Akhirnya diketahui bahwa Nina suka menyakiti dirinya sendiri dengan menggaruk kulitnya sampai berdarah. Hal ini ia lakukan bila ia dalam tekanan. Dalam film digambarkan, luka pada punggungnya yang awalnya hanya 2 garis, menjadi 3 garis saat ia semakin tertekan dan ibunya melihat luka itu. Beberapa kali pula penonton dihadapkan dengan ilusi yang dialami Nina, ia melihat Lily dengan wajahnya, namun sebagai Black Swan, saat rambutnya tergerai dan matanya yang bersinar menggoda. Semakin lama halusinasi dan ilusi yang dialami Nina semakin sering dan semakin nyata. Ia tidak dapat membedakan antara khayalan dan dunia nyata. Ia berhalusinasi mempunyai hubungan yang romantis dengan Lily, ia melihat Beth, pebalet senior yang harus pensiun menikami dirinya sendiri dengan pisau pembuka surat, ia melihat lukisan-lukisan ibunya bergerak dan berteriak-teriak. Puncaknya adalah saat malam pertunjukkan. Ibunya melarang ia menari dan mengurungnya di kamar. Namun saat itu Nina bukanlah White Swan, ia bukanlah anak yang penurut lagi. Ia juga sangat berambisi untuk menjadi Swan Queen. Ia pun tetap menari. Sempat jatuh karena mendengar suara Black Swan, Black Swan pun akhirnya muncul seutuhnya setelah memenangkan konflik dengan White Swan. Secara visual hal ini diperlihatkan dengan jelas: mata Nina berwarna merah dan senyumnya mengandung kelicikan. Ia menari dengan hebatnya, setiap gerakannya sangat mewakili Black Swan. Sang sutradara menggambarkannya dengan muncul bulu-bulu hitam pada tubuh Nina saat ia menari. Ia pun mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari para penonton. Nina masih dengan kepribadian Black Swan lalu mencium Thomas dengan liar. Pada adegan terakhir, saat White Swan bunuh diri, semua kebingungan terjawab, atau malah meninggalkan tanda tanya lain bagi para penonton film ini. Alunan nada karya Tchaikovsky mengiringi adegan penutup ini. Ia menari dengan wajah sendunya, sebagai seorang kekasih yang patah hati karena pangerannya jatuh cinta dengan orang lain. Ia memandang pangerannya, memandang penonton, dan melihat ibunya sendiri. Titik merah di perutnya semakin melebar. Lalu ia pun menjatuhkan diri di atas sebuah kasur. Setiap penonton berdiri dan bertepuk tangan, setiap pebalet menghampiri dan bertepuk tangan. Semua memuji penampilan Nina yang memukau, tanpa menyadari adanya titik merah yang saat itu semakin melebar dan menjadi danau darah. Lily menyadarinya dan Thomas pun meminta bantuan. Nina hanya berkata "I was perfect." Dan film pun berakhir.

Seperti judul di atas, Natalie Portman memang sangat pantas untuk membawa Oscar di tahun 2011 ini. Kabarnya ia berlatih balet selama 1 tahun dan berlatih setiap harinya selama 5-6 jam. Ia juga berdiet untuk mendapatkan figur seorang ballerina. Bisa dibilang ia memang sangat total untuk berperan dalam film ini. Dan hasilnya? Sungguh memukau. Walaupun masih belum dapat mengalahkan akting Marion Cotillard dalam La Vie En Rose yang menurut saya adalah akting terhebat sepanjang masa, akting Portman juga patut mendapat piala Oscar sebagai imbalannya, tentunya bisa mendapatkan piala-piala lain juga. Bukan hanya keterampilannya sebagai ballerina yang diuji tetapi kepiawaiannya dalam menggambarkan White dan Black Swan dalam diri Nina Slayers, yang sepertinya seorang penderita skizofrenia paranoid, lah yang patut mendapat penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman. Ia sanggup menggambarkan seorang seniman yang mati-matian bekerja keras untuk menampilkan karya terbaiknya, bahkan sampai mengorbankan jiwanya.

Bukan hanya akting Natalie Portman yang patut dipuji dalam film ini, pembangunan emosi dan ketegangannya juga sangat rapi dibangun oleh sang sutradara, Darren Aronofsky, yang pernah dinominasikan dalam Academy Award untuk filmnya The Wrestler (saat itu Mickey Rourke berhasil menyabet penghargaan Best Actor). Penonton dibuat tegang, bertanya-tanya, dan terheran-heran dalam film ini. Sebenarnya sampai akhir pun masih banyak pertanyaan tidak terjawab karena memang tidak disampaikan dengan lugas. Saya berkesimpulan Nina Slayers adalah penderita skizofrenia paranoid karena saya memang pernah mempelajari penyakit ini dan gejalanya tergambarkan dalam tindak-tanduk Nina. Ia merasa terancam, dikejar, mendengar dan melihat halusinasi, ilusi, dan ia memang pernah mengonsumsi obat. Tetapi dalam film tidak pernah disebutkan dalam lugas tentang kelainan jiwa yang dialami Nina. Jadi buat beberapa atau bahkan banyak orang, film ini mungkin susah ditonton karena membuat penontonnya berpikir.

Satu adegan yang paling saya tidak setujui dalam film ini adalah adegan seksual antara Nina dan Lily. Memang Nina membutuhkan 'sentuhan' untuk membangkitkan gairah seksualnya agar dapat memerankan Black Swan, namun mengapa harus tokoh Lily yang menjadi halusinasinya, bukan Thomas Leroy yang diperankan aktor Perancis keren bernama Vincent Cassell, sungguh tidak dapat dimengerti. Nina bukanlah seorang homoseksual dan itu tergambar dalam adegan-adegan sebelumnya. Mungkin sang sutradara hanya ingin memanfaatkan adegan tersebut untuk tujuan komersial dan bisa dibilang sukses sekali karena adegan ini lebih banyak diributkan massa sebelum filmnya sendiri ditayangkan.

Yah selain adegan yang menurut saya kurang penting itu, overall, film ini sangat menarik. Genre yang diusungnya adalah thriller sudah menjadi jaminan film ini tidak akan membosankan seperti kebanyakan film yang biasa tercantum dalam daftar awards. Pesan yang dapat diambil adalah kita pasti dapat meraih apa yang kita inginkan bila kita bekerja keras untuk memperolehnya. Seperti yang tercantum dalam percakapan di atas, film ini memang tidak mempunyai akhir yang membahagiakan, tetapi... it's beautiful.