Minggu, 02 Januari 2011

Black Swan, Saatnya Natalie Portman membawa Oscar


Andrew: "So what are you guys working on now?"
Nina: "Swan Lake. You know it?"
Andrew: "No, not really. Heard of it. What's it about?"
Nina: "It's about a girl who gets turned into a swan, and she needs love to break the spell. But her prince falls for the wrong girl and so she kills herself."
Andrew: "It's not a happy ending then."
Nina: "It's beautiful, actually."

Itulah sepenggal percakapan antara Nina, sang ballerina pemeran Swan Queen, dengan Andrew, seorang pria yang ia temui dalam sebuah bar. Andrew memang bukan pemeran utama dalam film ini, tapi ketidaktahuannya mengenai ballet mewakili para audiens yang tidak mengetahui dunia ballet dan cerita Swan Lake.

Film "Black Swan" mengisahkan tentang suatu sekolah ballet yang ingin mengadakan pertunjukkan Swan Lake. Masalahnya adalah dalam memilih pemeran utama yang disebut Swan Queen. Swan Queen harus dapat memerankan White Swan (sang perempuan yang berubah menjadi angsa), yang cantik, lemah lembut, dan rapuh, serta saudara kembarnya, Black Swan yang dalam percakapan di atas adalah "the wrong girl" yang seduktif sampai pangeran akhirnya jatuh cinta padanya. Kedua karakter yang saling bertolak belakang tersebut menjadi tantangan bagi Nina (Natalie Portman) yang memperoleh peran itu. Nina berumur 29 tahun, tinggal berdua dengan ibunya. Ia disiplin dan penurut, tidak pernah terlambat untuk berangkat dan pulang tepat waktu. Ibunya sering menelponnya untuk menanyakan keberadaannya. Ia juga penyendiri, digambarkan tidak banyak orang yang berinteraksi dengannya. Hidupnya teratur dan terkontrol. Di sinilah kita melihat gambaran White Swan. Thomas Leroy (Vincent Cassell), penari balet senior yang memproduksi pertunjukan Swan Lake mengatakan "If I was only casting the White Swan, she'd be yours" kepada Nina saat mengaudisinya. Begitu lekatnya gambaran White Swan dalam diri Nina namun begitu kecilnya kemungkinan ia bisa menjadi Black Swan sehingga Thomas awalnya tidak memilih Nina sebagai Swan Queen. Namun berkat usaha Nina dalam membujuk Thomas dan Thomas mengetahui adanya sisi Black Swan dalam diri Nina, ia pun memilih Nina. Masalah mulai bergulir semasa latihan. Nina tidak pernah dapat menggambarkan Black Swan seutuhnya. Berbagai cara (yang tentunya berkaitan dengan hubungan seksual) dilakukan Leroy untuk mengeluarkan sisi liar yang seduktif dari Nina, tapi hasilnya nihil. Seorang ballerina lain bernama Lily (Mila Kunis) - yang nantinya menjadi cadangan Nina - adalah seorang yang ramah, easy going, dan bebas. Menurut Leroy, tariannya "Imprecise but effortless." Ia menari dengan lepas dan jujur. Lily lalu menjadi teman Nina. Mengetahui Nina tertekan dalam berlatih, diajaknya Nina ke bar. Mereka mabuk, minum pil, dan berkenalan dengan Tom dan Andrew. Ini semua dilakukan Lily agar Nina dapat santai sejenak, melupakan semua tekanan yang ia alami. Dan sejak saat itu tarian Nina semakin membaik walaupun hidup Nina semakin sengsara.

Nina Slayers adalah tokoh sentral dalam film ini. Digambarkan terdapat 2 kepribadian dalam diri Nina, mungkin bisa disebut White Swan dan alter ego-nya, Black Swan. White Swan adalah Nina yang biasa dilihat dengan pakaian putih, krem, atau pink. Ia berdandan seperti ballerina lainnya, dengan rambut dicepol ketat. Mata Nina sebagai White Swan selalu bersinar sendu dan raut mukanya menggambarkan ketidakpercayadiriannya. Sejak awal film, penonton selalu dipaparkan dengan luka-luka yang sering muncul pada tubuh Nina, entah itu pada punggungnya, jari tangannya, atau kakinya. Akhirnya diketahui bahwa Nina suka menyakiti dirinya sendiri dengan menggaruk kulitnya sampai berdarah. Hal ini ia lakukan bila ia dalam tekanan. Dalam film digambarkan, luka pada punggungnya yang awalnya hanya 2 garis, menjadi 3 garis saat ia semakin tertekan dan ibunya melihat luka itu. Beberapa kali pula penonton dihadapkan dengan ilusi yang dialami Nina, ia melihat Lily dengan wajahnya, namun sebagai Black Swan, saat rambutnya tergerai dan matanya yang bersinar menggoda. Semakin lama halusinasi dan ilusi yang dialami Nina semakin sering dan semakin nyata. Ia tidak dapat membedakan antara khayalan dan dunia nyata. Ia berhalusinasi mempunyai hubungan yang romantis dengan Lily, ia melihat Beth, pebalet senior yang harus pensiun menikami dirinya sendiri dengan pisau pembuka surat, ia melihat lukisan-lukisan ibunya bergerak dan berteriak-teriak. Puncaknya adalah saat malam pertunjukkan. Ibunya melarang ia menari dan mengurungnya di kamar. Namun saat itu Nina bukanlah White Swan, ia bukanlah anak yang penurut lagi. Ia juga sangat berambisi untuk menjadi Swan Queen. Ia pun tetap menari. Sempat jatuh karena mendengar suara Black Swan, Black Swan pun akhirnya muncul seutuhnya setelah memenangkan konflik dengan White Swan. Secara visual hal ini diperlihatkan dengan jelas: mata Nina berwarna merah dan senyumnya mengandung kelicikan. Ia menari dengan hebatnya, setiap gerakannya sangat mewakili Black Swan. Sang sutradara menggambarkannya dengan muncul bulu-bulu hitam pada tubuh Nina saat ia menari. Ia pun mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari para penonton. Nina masih dengan kepribadian Black Swan lalu mencium Thomas dengan liar. Pada adegan terakhir, saat White Swan bunuh diri, semua kebingungan terjawab, atau malah meninggalkan tanda tanya lain bagi para penonton film ini. Alunan nada karya Tchaikovsky mengiringi adegan penutup ini. Ia menari dengan wajah sendunya, sebagai seorang kekasih yang patah hati karena pangerannya jatuh cinta dengan orang lain. Ia memandang pangerannya, memandang penonton, dan melihat ibunya sendiri. Titik merah di perutnya semakin melebar. Lalu ia pun menjatuhkan diri di atas sebuah kasur. Setiap penonton berdiri dan bertepuk tangan, setiap pebalet menghampiri dan bertepuk tangan. Semua memuji penampilan Nina yang memukau, tanpa menyadari adanya titik merah yang saat itu semakin melebar dan menjadi danau darah. Lily menyadarinya dan Thomas pun meminta bantuan. Nina hanya berkata "I was perfect." Dan film pun berakhir.

Seperti judul di atas, Natalie Portman memang sangat pantas untuk membawa Oscar di tahun 2011 ini. Kabarnya ia berlatih balet selama 1 tahun dan berlatih setiap harinya selama 5-6 jam. Ia juga berdiet untuk mendapatkan figur seorang ballerina. Bisa dibilang ia memang sangat total untuk berperan dalam film ini. Dan hasilnya? Sungguh memukau. Walaupun masih belum dapat mengalahkan akting Marion Cotillard dalam La Vie En Rose yang menurut saya adalah akting terhebat sepanjang masa, akting Portman juga patut mendapat piala Oscar sebagai imbalannya, tentunya bisa mendapatkan piala-piala lain juga. Bukan hanya keterampilannya sebagai ballerina yang diuji tetapi kepiawaiannya dalam menggambarkan White dan Black Swan dalam diri Nina Slayers, yang sepertinya seorang penderita skizofrenia paranoid, lah yang patut mendapat penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman. Ia sanggup menggambarkan seorang seniman yang mati-matian bekerja keras untuk menampilkan karya terbaiknya, bahkan sampai mengorbankan jiwanya.

Bukan hanya akting Natalie Portman yang patut dipuji dalam film ini, pembangunan emosi dan ketegangannya juga sangat rapi dibangun oleh sang sutradara, Darren Aronofsky, yang pernah dinominasikan dalam Academy Award untuk filmnya The Wrestler (saat itu Mickey Rourke berhasil menyabet penghargaan Best Actor). Penonton dibuat tegang, bertanya-tanya, dan terheran-heran dalam film ini. Sebenarnya sampai akhir pun masih banyak pertanyaan tidak terjawab karena memang tidak disampaikan dengan lugas. Saya berkesimpulan Nina Slayers adalah penderita skizofrenia paranoid karena saya memang pernah mempelajari penyakit ini dan gejalanya tergambarkan dalam tindak-tanduk Nina. Ia merasa terancam, dikejar, mendengar dan melihat halusinasi, ilusi, dan ia memang pernah mengonsumsi obat. Tetapi dalam film tidak pernah disebutkan dalam lugas tentang kelainan jiwa yang dialami Nina. Jadi buat beberapa atau bahkan banyak orang, film ini mungkin susah ditonton karena membuat penontonnya berpikir.

Satu adegan yang paling saya tidak setujui dalam film ini adalah adegan seksual antara Nina dan Lily. Memang Nina membutuhkan 'sentuhan' untuk membangkitkan gairah seksualnya agar dapat memerankan Black Swan, namun mengapa harus tokoh Lily yang menjadi halusinasinya, bukan Thomas Leroy yang diperankan aktor Perancis keren bernama Vincent Cassell, sungguh tidak dapat dimengerti. Nina bukanlah seorang homoseksual dan itu tergambar dalam adegan-adegan sebelumnya. Mungkin sang sutradara hanya ingin memanfaatkan adegan tersebut untuk tujuan komersial dan bisa dibilang sukses sekali karena adegan ini lebih banyak diributkan massa sebelum filmnya sendiri ditayangkan.

Yah selain adegan yang menurut saya kurang penting itu, overall, film ini sangat menarik. Genre yang diusungnya adalah thriller sudah menjadi jaminan film ini tidak akan membosankan seperti kebanyakan film yang biasa tercantum dalam daftar awards. Pesan yang dapat diambil adalah kita pasti dapat meraih apa yang kita inginkan bila kita bekerja keras untuk memperolehnya. Seperti yang tercantum dalam percakapan di atas, film ini memang tidak mempunyai akhir yang membahagiakan, tetapi... it's beautiful.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar