Rabu, 19 Januari 2011

The Kids are All Right, potret kehidupan keluarga masa kini

The Kids are All Right menceritakan sebuah keluarga dari pasangan lesbian dengan kedua anaknya. Pasangan ini bernama Nicole (Annette Benning) dan Jules (Julianne Moore) dengan Joni (Mia Wasikowska) dan Laser (Josh Hutcherson). Anak-anak ini berasal dari donor sperma yang sama, Paul (Mark Ruffallo), seorang pemilik restoran. Joni adalah hasil kehamilan Nicole yang seorang dokter. Saat ini ia berumur 18 tahun dan akan pindah untuk bersekolah di college. Ia adalah "the brains in the family". Laser adalah hasil kehamilan Jules dan saat ini berumur 15 tahun. Ia adalah seorang atlit dan bermain di seluruh cabang olahraga.

Keluarga ini digambarkan sangat harmonis. Nic yang seorang dokter adalah kepala keluarganya. Ia sang pencari nafkah, selalu pasti dengan pendiriannya, dan seorang yang perfeksionis. Sifat perfeksionisnya itu membuatnya terlalu sering mengatur sehingga kadang-kadang anak-anaknya membangkang, terutama Joni yang sudah dewasa, 18 tahun. Jules adalah pribadi yang kebalikannya. Ia tidak tahu apa yang mau ia lakukan dalam hidupnya. Ia pernah belajar arsitek dan keluar sebelum lulus. Ia lalu menjalankan beberapa bisnis. Usahanya yang terbaru adalah landscape design. Di bayang-bayang keberhasilan Nic, Jules selalu ragu dan merasa tidak dihargai karena ketidakberhasilannya. Ia pun memegang peranan ibu yang mengurus anak-anaknya. Joni adalah perempuan yang beranjak dewasa. Ia mau menonjol sebagai dirinya sendiri, tidak mau didikte oleh orang tuanya. Laser adalah tipe remaja laki-laki tipikal. Senang bermain dengan kawannya, Clay, walau Clay adalah orang yang aneh. Ia juga tidak sensitif. Sedangkan Paul adalah seorang yang juga tidak pasti akan hidupnya, namun akhirnya ia berhasil memiliki sebuah restoran yang sukses. Tipe pria yang tidak berkomit dengan kehidupan cinta yang bebas.

Konflik pada keluarga modern ini dimulai ketika Laser ingin bertemu dengan ayah biologisnya, Paul. Joni dan Laser pun melacaknya dan berhasil bertemu. Sejak saat itu, Paul pun muncul dalam kehidupan mereka dan menggoyahkan kestabilan keluarga tersebut. Cinta pasangan lesbian ini diuji dan kita diperlihatkan bagaimana respons kedua anak mereka terhadap keluarga yang unik ini. Jangan dikira kedua anak ini mengalami fase depresi karena malu mempunyai 2 ibu atau tidak bangga dengan keluarganya. Hal ini sama sekali tidak tampak. Mereka bangga dengan keluarganya, sangat menyayangi kedua ibunya, tidak malu akan kehidupannya, pastinya... the kids are all right! Dari film ini kita dapat melihat bagaimana kehidupan keluarga dari pasangan lesbian yang kurang lebih sama dengan keluarga lainnya. Mereka berusaha menerima pasangan apa adanya, mereka juga punya masalah yang sama, dan mereka saling mencintai walaupun mungkin kita belum terbiasa dengan pasangan sesama jenis. Perbedaannya hanyalah dalam berhubungan seksual tentunya, yang digambarkan dengan sangat kocak dan sifat emosional yang menonjol dari perempuan. Saat Nic and Jules bertengkar atau bersedih, terlalu banyak air mata yang keluar karena keduanya menangis. Suatu adegan yang jarang kita lihat karena biasanya, dalam keluarga yang normal, sosok ibu yang biasa kita lihat menangis.

Film ini mengajarkan tentang keluarga dan kehidupan pernikahan. "Marriage is hard" seperti kata Jules. Film ini lebih fokus kepada masalah internal keluarga, bukanlah masalah eksternal. Dalam film ini digambarkan lingkungan mereka dapat menerima dengan baik sehingga semua orang dapat menikmati ceritanya. Secara keseluruhan film ini menghibur dan dapat memberikan pesan. Beberapa adegan memang digambarkan dengan jenaka tanpa menghilangkan keseriusan pesan yang ingin disampaikan. Bukan hanya keluarga homoseksual yang diangkat, namun juga masalah remaja yang dihadapi oleh para anak, seperti persahabatan, percintaan, dan seksualitas. Apakah anak-anak dari pasangan gay akan mendapat pengaruh buruk dari orang tuanya? Dalam arti lain, apakah anaknya juga akan menjadi gay? Ini juga masalah yang dihadapi oleh Nic-Jules dan untuk tahu jawabannya, sebaiknya menonton film ini :) Pemainnya, terutama pasangan Annete Benning-Julianne Moore patut dipuji. Benning memang sudah terbukti dengan penghargaan golden globe di tangan. Jarang sekali kita melihat Julianne Moore bergaya kasual dan santai dan dapat membawa angin segar untuk karakter Nic yang "uptight".

Kekurangan film ini sepertinya cukup fatal. Dari wikipedia didapatkan bahwa pernikahan secara legal di Amerika Serikat baru disahkan pada tahun 2004 di negara bagian Massachussets. Memang masa lalu Nic-Jules tidak jelas, apakah mereka hamil dulu atau menikah dulu. Yang pastinya adalah mereka menikah seperti pengakuan Jules, bukan "partnership" atau apa pun istilahnya. Bila kita berasumsi bahwa mereka menjalani proses konvensional dengan menikah dulu baru mempunyai anak, hal ini tidak mungkin terjadi karena belum disahkan di AS, tidak mungkin juga di luar negeri karena Belanda, negara pertama yang mengesahkan pernikahan sesama jenis, mengeluarkan undang-undangnya pada tahun 2001, 9 tahun dari film ini dirilis. Mungkin sebaiknya hal ini diperjelas. Memang tidak terlalu penting untuk perkembangan ceritanya tapi rasanya film ini jadi kurang sempurna bila hal ini tidak diperbaiki.

Kekurangan lainnya adalah saat adegan klimaks, Jules meminta maaf pada keluarganya. Menurut saya, akting Julianne Moore kurang 'ngena' walaupun dia sudah banjir air mata. Alhasil, adegan yang seharusnya bikin sedih ini malah tidak mengharukan. Selain akting, mungkin karena bahasa Inggris yang digunakan. Jujur saja, dalam film ini agak sulit memahami percakapannya, mungkin karena pilihan kata-katanya yang tidak biasa digunakan sehingga kadang-kadang bingung akan maksud perkataan karakter.

Adegan yang paling saya sukai dari film ini ada 2, yaitu saat Nic-Jules menceritakan pertemuan mereka dan perpisahan Nic-Jules dengan Joni. Pada adegan yang pertama kita dapat melihat jelas chemistry antara Benning dan Moore yang sangat kuat. Nic yang biasanya "uptight" saat itu terlihat begitu rileks dan Moore juga terlihat cantik sampai Paul pun jelas-jelas terpesona. Adegan yang satunya sangat menyentuh. Saat Nic, Jules, dan Joni berpelukan, walau wajah mereka tidak terlihat jelas, tapi body language mereka sangat menggambarkan isi hati mereka. Joni, walaupun sering membangkang di hari-hari terakhir ia tinggal di rumah, sangat sedih karena harus meninggalkan kedua ibunya. Kedua ibu yang memang digambarkan sangat emosional dari awal film, tentu saja menangis. Kita pun tahu kalau mereka berdua sudah berbaikan.

Film ini bagus dan memang pantas mendapatkan Best Motion Picture untuk kategori Comedy or Musical karena berani menawarkan tema yang sebenarnya sederhana dan tipikal tetapi dikemas dengan mengangkat topik yang kontroversial (pasti tidak mungkin diputar di Indonesia). Dan bila dibandingkan dengan nominasi film lain seperti The Tourist, Red, Alice in Wonderland, atau Burlesque, jelas film ini paling bagus. Akhir cerita pun digambarkan dengan sederhana dan memuaskan.

Minggu, 02 Januari 2011

Black Swan, Saatnya Natalie Portman membawa Oscar


Andrew: "So what are you guys working on now?"
Nina: "Swan Lake. You know it?"
Andrew: "No, not really. Heard of it. What's it about?"
Nina: "It's about a girl who gets turned into a swan, and she needs love to break the spell. But her prince falls for the wrong girl and so she kills herself."
Andrew: "It's not a happy ending then."
Nina: "It's beautiful, actually."

Itulah sepenggal percakapan antara Nina, sang ballerina pemeran Swan Queen, dengan Andrew, seorang pria yang ia temui dalam sebuah bar. Andrew memang bukan pemeran utama dalam film ini, tapi ketidaktahuannya mengenai ballet mewakili para audiens yang tidak mengetahui dunia ballet dan cerita Swan Lake.

Film "Black Swan" mengisahkan tentang suatu sekolah ballet yang ingin mengadakan pertunjukkan Swan Lake. Masalahnya adalah dalam memilih pemeran utama yang disebut Swan Queen. Swan Queen harus dapat memerankan White Swan (sang perempuan yang berubah menjadi angsa), yang cantik, lemah lembut, dan rapuh, serta saudara kembarnya, Black Swan yang dalam percakapan di atas adalah "the wrong girl" yang seduktif sampai pangeran akhirnya jatuh cinta padanya. Kedua karakter yang saling bertolak belakang tersebut menjadi tantangan bagi Nina (Natalie Portman) yang memperoleh peran itu. Nina berumur 29 tahun, tinggal berdua dengan ibunya. Ia disiplin dan penurut, tidak pernah terlambat untuk berangkat dan pulang tepat waktu. Ibunya sering menelponnya untuk menanyakan keberadaannya. Ia juga penyendiri, digambarkan tidak banyak orang yang berinteraksi dengannya. Hidupnya teratur dan terkontrol. Di sinilah kita melihat gambaran White Swan. Thomas Leroy (Vincent Cassell), penari balet senior yang memproduksi pertunjukan Swan Lake mengatakan "If I was only casting the White Swan, she'd be yours" kepada Nina saat mengaudisinya. Begitu lekatnya gambaran White Swan dalam diri Nina namun begitu kecilnya kemungkinan ia bisa menjadi Black Swan sehingga Thomas awalnya tidak memilih Nina sebagai Swan Queen. Namun berkat usaha Nina dalam membujuk Thomas dan Thomas mengetahui adanya sisi Black Swan dalam diri Nina, ia pun memilih Nina. Masalah mulai bergulir semasa latihan. Nina tidak pernah dapat menggambarkan Black Swan seutuhnya. Berbagai cara (yang tentunya berkaitan dengan hubungan seksual) dilakukan Leroy untuk mengeluarkan sisi liar yang seduktif dari Nina, tapi hasilnya nihil. Seorang ballerina lain bernama Lily (Mila Kunis) - yang nantinya menjadi cadangan Nina - adalah seorang yang ramah, easy going, dan bebas. Menurut Leroy, tariannya "Imprecise but effortless." Ia menari dengan lepas dan jujur. Lily lalu menjadi teman Nina. Mengetahui Nina tertekan dalam berlatih, diajaknya Nina ke bar. Mereka mabuk, minum pil, dan berkenalan dengan Tom dan Andrew. Ini semua dilakukan Lily agar Nina dapat santai sejenak, melupakan semua tekanan yang ia alami. Dan sejak saat itu tarian Nina semakin membaik walaupun hidup Nina semakin sengsara.

Nina Slayers adalah tokoh sentral dalam film ini. Digambarkan terdapat 2 kepribadian dalam diri Nina, mungkin bisa disebut White Swan dan alter ego-nya, Black Swan. White Swan adalah Nina yang biasa dilihat dengan pakaian putih, krem, atau pink. Ia berdandan seperti ballerina lainnya, dengan rambut dicepol ketat. Mata Nina sebagai White Swan selalu bersinar sendu dan raut mukanya menggambarkan ketidakpercayadiriannya. Sejak awal film, penonton selalu dipaparkan dengan luka-luka yang sering muncul pada tubuh Nina, entah itu pada punggungnya, jari tangannya, atau kakinya. Akhirnya diketahui bahwa Nina suka menyakiti dirinya sendiri dengan menggaruk kulitnya sampai berdarah. Hal ini ia lakukan bila ia dalam tekanan. Dalam film digambarkan, luka pada punggungnya yang awalnya hanya 2 garis, menjadi 3 garis saat ia semakin tertekan dan ibunya melihat luka itu. Beberapa kali pula penonton dihadapkan dengan ilusi yang dialami Nina, ia melihat Lily dengan wajahnya, namun sebagai Black Swan, saat rambutnya tergerai dan matanya yang bersinar menggoda. Semakin lama halusinasi dan ilusi yang dialami Nina semakin sering dan semakin nyata. Ia tidak dapat membedakan antara khayalan dan dunia nyata. Ia berhalusinasi mempunyai hubungan yang romantis dengan Lily, ia melihat Beth, pebalet senior yang harus pensiun menikami dirinya sendiri dengan pisau pembuka surat, ia melihat lukisan-lukisan ibunya bergerak dan berteriak-teriak. Puncaknya adalah saat malam pertunjukkan. Ibunya melarang ia menari dan mengurungnya di kamar. Namun saat itu Nina bukanlah White Swan, ia bukanlah anak yang penurut lagi. Ia juga sangat berambisi untuk menjadi Swan Queen. Ia pun tetap menari. Sempat jatuh karena mendengar suara Black Swan, Black Swan pun akhirnya muncul seutuhnya setelah memenangkan konflik dengan White Swan. Secara visual hal ini diperlihatkan dengan jelas: mata Nina berwarna merah dan senyumnya mengandung kelicikan. Ia menari dengan hebatnya, setiap gerakannya sangat mewakili Black Swan. Sang sutradara menggambarkannya dengan muncul bulu-bulu hitam pada tubuh Nina saat ia menari. Ia pun mendapatkan sambutan yang sangat meriah dari para penonton. Nina masih dengan kepribadian Black Swan lalu mencium Thomas dengan liar. Pada adegan terakhir, saat White Swan bunuh diri, semua kebingungan terjawab, atau malah meninggalkan tanda tanya lain bagi para penonton film ini. Alunan nada karya Tchaikovsky mengiringi adegan penutup ini. Ia menari dengan wajah sendunya, sebagai seorang kekasih yang patah hati karena pangerannya jatuh cinta dengan orang lain. Ia memandang pangerannya, memandang penonton, dan melihat ibunya sendiri. Titik merah di perutnya semakin melebar. Lalu ia pun menjatuhkan diri di atas sebuah kasur. Setiap penonton berdiri dan bertepuk tangan, setiap pebalet menghampiri dan bertepuk tangan. Semua memuji penampilan Nina yang memukau, tanpa menyadari adanya titik merah yang saat itu semakin melebar dan menjadi danau darah. Lily menyadarinya dan Thomas pun meminta bantuan. Nina hanya berkata "I was perfect." Dan film pun berakhir.

Seperti judul di atas, Natalie Portman memang sangat pantas untuk membawa Oscar di tahun 2011 ini. Kabarnya ia berlatih balet selama 1 tahun dan berlatih setiap harinya selama 5-6 jam. Ia juga berdiet untuk mendapatkan figur seorang ballerina. Bisa dibilang ia memang sangat total untuk berperan dalam film ini. Dan hasilnya? Sungguh memukau. Walaupun masih belum dapat mengalahkan akting Marion Cotillard dalam La Vie En Rose yang menurut saya adalah akting terhebat sepanjang masa, akting Portman juga patut mendapat piala Oscar sebagai imbalannya, tentunya bisa mendapatkan piala-piala lain juga. Bukan hanya keterampilannya sebagai ballerina yang diuji tetapi kepiawaiannya dalam menggambarkan White dan Black Swan dalam diri Nina Slayers, yang sepertinya seorang penderita skizofrenia paranoid, lah yang patut mendapat penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman. Ia sanggup menggambarkan seorang seniman yang mati-matian bekerja keras untuk menampilkan karya terbaiknya, bahkan sampai mengorbankan jiwanya.

Bukan hanya akting Natalie Portman yang patut dipuji dalam film ini, pembangunan emosi dan ketegangannya juga sangat rapi dibangun oleh sang sutradara, Darren Aronofsky, yang pernah dinominasikan dalam Academy Award untuk filmnya The Wrestler (saat itu Mickey Rourke berhasil menyabet penghargaan Best Actor). Penonton dibuat tegang, bertanya-tanya, dan terheran-heran dalam film ini. Sebenarnya sampai akhir pun masih banyak pertanyaan tidak terjawab karena memang tidak disampaikan dengan lugas. Saya berkesimpulan Nina Slayers adalah penderita skizofrenia paranoid karena saya memang pernah mempelajari penyakit ini dan gejalanya tergambarkan dalam tindak-tanduk Nina. Ia merasa terancam, dikejar, mendengar dan melihat halusinasi, ilusi, dan ia memang pernah mengonsumsi obat. Tetapi dalam film tidak pernah disebutkan dalam lugas tentang kelainan jiwa yang dialami Nina. Jadi buat beberapa atau bahkan banyak orang, film ini mungkin susah ditonton karena membuat penontonnya berpikir.

Satu adegan yang paling saya tidak setujui dalam film ini adalah adegan seksual antara Nina dan Lily. Memang Nina membutuhkan 'sentuhan' untuk membangkitkan gairah seksualnya agar dapat memerankan Black Swan, namun mengapa harus tokoh Lily yang menjadi halusinasinya, bukan Thomas Leroy yang diperankan aktor Perancis keren bernama Vincent Cassell, sungguh tidak dapat dimengerti. Nina bukanlah seorang homoseksual dan itu tergambar dalam adegan-adegan sebelumnya. Mungkin sang sutradara hanya ingin memanfaatkan adegan tersebut untuk tujuan komersial dan bisa dibilang sukses sekali karena adegan ini lebih banyak diributkan massa sebelum filmnya sendiri ditayangkan.

Yah selain adegan yang menurut saya kurang penting itu, overall, film ini sangat menarik. Genre yang diusungnya adalah thriller sudah menjadi jaminan film ini tidak akan membosankan seperti kebanyakan film yang biasa tercantum dalam daftar awards. Pesan yang dapat diambil adalah kita pasti dapat meraih apa yang kita inginkan bila kita bekerja keras untuk memperolehnya. Seperti yang tercantum dalam percakapan di atas, film ini memang tidak mempunyai akhir yang membahagiakan, tetapi... it's beautiful.